0

Antara Niat Investasi, Kenaikan Harga Property, dan Akibat Yang Ditanggung Bersama

Posted by diransama.jp on 02.04
Dimana ada gula, disana ada semut. Peribahasa yang satu ini merupakan salah satu peribahasa yang sudah popular di telinga kita. Dimana ada kenikmatan, di sanalah berkumpul para pencari kenikmatan. jika diasosiasikan kedalam bentuk lain, kenikmatan itu bisa kita umpamakan dalam banyak hal yang menjadikannya menarik seperti gula.
Beranjak dari gula dan semut tersebut, realita dari kesan menarik pada saat ini di masyarakat adalah daya tarik suatu tempat atas sumber penghasilan yang lebih baik, sarana hiburan yang lengkap, sumber informasi dan pengetahuan yang luas, dan keuntungan investasi.
Lihat saja di beberapa contoh kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Denpasar. Gedung perkantoran bertingkat hingga seakan-akan menggapai langit, pembangunan apartemen, komplek-komplek perumahan tipe kecil, dan tempat usaha, maupun pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan transportasi, menggambarkan betapa tingginya animo penduduk (pencari kenikmatan) untuk ikut ambil peran di kota besar. Dengan tingginya tingkat migrasi penduduk ke kota besar membawa akibat kepada kepadatan penduduk di kota besar. Merekapun mulai berpikiran untuk melakukan pembelian property (hunian) yang dekat dengan kantor atau tempat usaha yang dianggapnya sebagai langkah untuk berhemat. Namun kenyataannya, ternyata tingginya animo untuk memiliki hunian menjadikan harga property  juga tinggi dan bahkan tidak terkendali. Lantas, dimana mereka akan tinggal? Bagaimana mengatasi keterbatasan lahan? Apakah harga hunian bisa terjangkau? Berapa penghasilan yang harus dimiliki untuk mencukupi biaya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan biaya kebutuhan pokok?  
Sebagian mungkin memilih untuk tetap berada dekat dengan kantor atau tempat usaha, dan sebagian memilih untuk mencari hunian di daerah pinggiran. Tetap berada di pusat kota membuat biaya yang dikeluarkan mejadi sangat tinggi baik untuk pembayaran cicilan property, ataupunsewa atas property (sewa/kontak rumah). Sedangkan penduduk lainnya yang memilih untuk mencari daerah pinggiran memiliki pertimbangan dan harapan yaitu untuk mendapatkan harga property yang lebih masuk akal. Lihat saja daerah Depok, Bekasi dan Bogor yang menjadi tujuan hunian yang ideal. Tapi bagaimana kenyataannya?? Berbagai perusahaan pengembang mulai bermunculan dengan penawaran yang sangat menarik, harga jual yang dibuat menyesuaikan dengan kantong konsumen. Ya, menyesuaikan antara kantong konsumen dengan ukuran unit yang akan diperoleh. Untuk tipe kecil 36/60 rata-rata dipasarkan dengan harga 150juta rupiah dengan cicilan perbulan 1.5 juta untuk 20 tahun dan suku bungan 7%. Terlihat masuk akal dan sebanding dengan kantong konsumen, namun pada umumnya adalah perhitungan tersebut adalah untuk dua tahun pertama, selanjutnya adalah menyesuaikan dengan suku bunga bank yang berlaku. Jika pada tahun ketiga suku bunga menjadi 15% tentunya perhitungan pembayaran angsuran menjadi dua kali lipat. Jika dilihat dari risikonya, besar kemungkinan menurunkan daya beli konsumen, sehingga ia bisa saja melakukan penjualan property secara besar-besaran jika tidak diikuti oleh kenaikan daya beli dan pendapatan. Mungkinkah Negara menjadi collaps?
Melihat kondisi tersebut, hal tersebut pada saat ini dijadikan peluang oleh para pengembang (developer). Konsumen memiliki dua pemikiran yaitu pertama, setidaknya dengan memiliki satu property bisa memberikan tempat bernaung bagi konsumen sendiri dan keluarganya. Kedua, alangkah lebih baik untuk memiliki property lebih dari satu mengingat nilai investasi property selalu meningkat. Para pengembang sangat memanfaatkan buah pemikiran konsumen tersebut. Pengembang dengan modal usaha besar lebih menyasar konsumen kalangan menengah ke atas dengan karakteristik yaitu gaya hidup yang di atas rata-rata, cenderung mudah diatur (patuh dan taat), risiko ketidaktertagihan yang kecil, sehingga secara tidak langsung memberikan mereka nilai tambah berupa tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi. Sedangkan pengembang dengan modal usaha kecil lebih menyasar konsumen kalangan menengah ke bawah dimana karakteristik konsumen yaitu kelompok ini jumlahnya jauh lebih besar dari kelompok menengah ke atas, keinginan untuk memiliki hunian yang nyaman mengikuti perkembangan model, daya beli sedang, cenderung rewel (nego inilah, nego itulah), dan tingkat risiko ketidaktertagihan yang tinggi.
Karakteristik dari kalangan menengah ke bawah tersebut secara tidak langsung mengarahkan transaksi kepada kesepakatan bersama yang cenderung merugikan penerimaan Negara dari sektor perpajakan. Terjadi praktek penghindaran terhadap kewajiban perpajakan melalui beberapa tindakan tidak terpuji. Beberapa tindakan tersebut antara lain menggunakan nilai transaksi yang tidak sebenarnya, tidak melaksanakan pemotongan atau pemungutan pajak dengan benar.
Transaksi pembelian property terjadi melalui kesepakatan harga antara penjual (developer) dengan pembeli yang mana pada umumnya harga yang ditetapkan oleh penjual tidak mengalami perubahan (tetap) kecuali ada promo tertentu. Kebutuhan akan property yang tinggi mengakibatkan pengembang menaikkan harga demi keuntungan pribadi. Selain itu, dalam usaha mencari keuntungan dengan alih-alih memenuhi permintaan konsumen, property dibuat dengan model minimalis dan dalam unit-unit kecil sehingga harga seolah-olah menjadi lebih terjangkau. Padahal jika dihitung berdasarkan harga jual per meter atas tanah dan/atau bangunan masih terhitung tinggi (mahal). Tingginya harga jika dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tentu nilai NJOP masih jauh dari nilai transaksi. Demi keuntungan bersama, konsumen dan pengembang melakukan transaksi penjualan dengan nilai sedikit di atas NJOP sehingga pajak yang dibayarkan menjadi lebih kecil.
Pajak yang terkait dari transaksi jual beli property adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh). Konsumen akan dikenakan BPHTB sebesar 0.5% dari nilai transaksi dan pemungutan oleh pengembang atas PPN sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (nilai pembelian). Sedangkan pengembang akan dikenakan PPh final pasal 4 ayat (2) sebesar 2% - 6% dan PPh Badan. Kewajiban pemungutan PPN oleh pengembang sangat besar kemungkinannya untuk tidak dilanjutkan dengan menyetorkannya ke kas Negara. Hal ini bisa saja terjadi mengingat developer adalah perusahaan yang mencari laba, sehingga mengunakan uang tersebut sebagai modal agar memperlancar siklus keuangan perusahaan. Dengan perputaran modal yang cepat akan mampu melakukan pengembangan lahan ke tahap berikutnya. Nah, cobalah kita renungkan, apa yang didapatkan konsumen??
 Dua tindakan di atas dapat mengakibatkan kerugian bagi Negara, konsumen, maupun developer. Bila dicermati lebih lanjut, pajak yang dibayarkan lebih kecil tersebut mengakibatkan beberapa hal yaitu pertama, keuntungan perusahaan yang dilaporkan dalam PPh badan menjadi lebih kecil karena laporan keuangan perusahaan disesuaikan dengan nilai transaksi jual beli namun tidak sesuai dengan dengan uang yang diterima. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa konsumen sendiri memperkaya para perusahaan pengembang. Kedua, pembayaran PPN dan BPHTB oleh konsumen yang tidak disetorkan ke kas Negara dapat merugikan konsumen jika pada suatu saat masyarakat mengeluhkan tingginya PBB akibat perkembangan nilai property yang sangat pesat. Jika pada saat itu diketahui bahwa PPN dan BPHTB tidak disetorkan ke kas Negara sesuai dengan ketentuan, maka konsumen dapat dikenakan denda hingga 200%, atau dengan kata lain membayar hingga tiga kali lipat dari yang seharusnya dibayarkan. Tentunya nilai bangunan akan diukur dan disesuaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan penghitungan Pajak yang terutang. Dari tindakan yang dilakukan oleh konsumen dan developer tersebut, mengakibatkan penerimaan pajak menjadi lebih rendah, sehingga Negara kesulitan dalam membiayai pembangunan.
Melihat dua kondisi di atas, peranan pajak dalam bidang property sebenarnya adalah mengendalikan harga property itu sendiri agar tidak mengalami lonjakan yang sangat tinggi yang tidak sejalan dengan penghasilan dari konsumen. Pajak juga dapat berperan sebagai pengendali untuk menghindari krisis perekonomian seperti yang terjadi di Negara adikuasa, Amerika. Dengan adanya pajak, diharapkan konsumen akan melakukan pembelian sesuai dengan daya beli yang ada, sehingga tidak akan memaksa konsumen untuk melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya dan bahkan berpengaruh secara nasional.
Berdasarkan uraian di atas, konsumen diminta lebih cermat dalam bertransaksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengorbankan sedikit ego dan berbagi bersama demi kepentingan bersama. Kebijaksanaan konsumen sangat dibutuhkan disini demi mewujudkan rasa keadilan dan demi kemajuan bersama. Pelanggan (konsumen) adalah raja. Jika raja tidak memiliki daya beli karena tingginya harga property, maka pada suatu titik tertentu akan membentuk juga keseimbangan pada harga yang baru. Tapi kapankah keseimbangan tersebut akan terjadi?? Seberapa besar kerugian yang akan dibenankan kepada Negara?? Berapa banyak keuntungan yang telah diberikan kepada perusahaan pengembang?? Hanya kita dengan bersama-sama yang bisa menjawabnya.
Disini, konsumen adalah kuncinya. Konsumen yang cermat dan cerdas akan mengorbankan ego dengan berlaku lebih jujur, memperhatikan kelengkapan dokumen jual beli property termasuk nilai yang tercantum dalam akta, sertipikat, maupun surat setoran pajak (BPHTB dan PPN), termasuk menyimpan bukti surat setoran tersebut. Konsumen cerdas, membantu petugas pajak untuk lebih professional dalam mengayomi wajib pajak demi kepentingan dan masa depan bersama.
Mari bersama, membangun bangsa……
Jadilah Warga Negara yang bangga membayar Pajak....

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 (nats_neo2010) All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.